Jumat, 18 Desember 2009

“MAK IJAH”

Kemarin siang, langit tampak cerah. Aku berangkat ke pesantren darunnajah cipining untuk mengantar tetanggaku yang akan masuk pesantren. Dari stasiun Kebayoran Lama aku dan tetangga ku naik kereta api tepat pukul 9.30, syukurlah tidak terlalu lama kami menunggu. Tidak seperti biasa, kereta hari ini tidak terlalu penuh. Aku pun tak perlu berdesak-desakan seperti biasanya, sehingga aku masih bisa duduk. Pedagang asongan, datang silih berganti menawarkan dagangannya. Pengemis, pengamen, satu persatu menemani perjalananku.

Satu jam berlalu, kami tiba di stasiun Parung Panjang. Ketika kami berjalan menuju pintu keluar, ada segerombolan orang berkumpul. Hatiku penasaran, ada apa gerangan. Aku pun menghampiri gerombolan orang tersebut, dan betapa hatiku tersentak melihat apa yang terjadi. Seorang nenek tua terjatuh pingsan tak sadarkan diri ketika sedang menunggu barang dagangannya. Jaket lusuh yang dikenakan nenek tua itu basah, terkena air, matanya sayup-sayup, tubuhnya sudah mulai kaku. Beberapa orang bilang bahwa nenek tua itu sudah tidak lagi bernyawa, aku heran kenapa orang-orang hanya melihat saja dan tidak menolongnya. Dimana budaya Indonesia yang katanya suka menolong. Menurutnya, mereka sedang menunggu saudaranya datang. Dalam hatiku bertanya, “menunggu saudaranya datang? Sampai kapan?!! Sampai nenek itu merenggang nyawa??? Oh Tuhan, ini tak boleh dibiarkan. Hatiku tergerak untuk membantunya, aku bangunkan nenek tua itu bersama tetanggaku dan seorang ibu-ibu yang juga terpanggil untuk menolongnya. Alhamdulilllah, nenek itu masih bisa bicara. Namun, aku tak faham apa yang dibicarakannya, suaranya tak jelas. Aku hanya menduga-duga bahwa dia ingin minum, aku bergegas mencari pedagang yang menjual air minum. Ya Allah, dalam hatiku menangis, aku miris.

Orang-orang berteriak minta tolong. Sepertinya nenek tua itu tinggal tak jauh dari stasiun parung panjang. Banyak orang yang mengenalinya. Akhirnya aku tahu bahwa Nenek tua itu bernama mak Ijah. Tak lama berselang, datang para tukang ojek yang biasa mangkal di stasiun membawanya pulang ke rumah. Awalnhya, nenek tua itu menolak dibawa pulang, katanya siapa yang akan menjaga dagangannya nanti jika ada pembeli. Aku makin tak tega, nenek setua itu masih begitu bersemangat untuk tetap berjualan meski tubuhnya sedang sakit dan tak berdaya. Aku dan tetangganya mencoba untuk membujuknya agar istirahat sejenak di rumah, akhirnya dia pun dibawa pulang. Maafkan aku Mak Ijah, aku tak bisa berbuat banyak.

Lalu, aku melanjutkan perjalananku ke pesantren darunnajah cipining. Dalam langkahku ku berdoa, “Ya Allah, ya rabb, aku panjatkan doa kepada-Mu untuk Mak Ijah yang sudah tua, aku mohon pada Mu, lindungi mak Ijah, jaga dirinya, sehatkan badannya, dan bahagiakan dia dan keluarganya. Jangan biarkan Mak Ijah, memikul beban yang teramat berat di usianya yang sudah senja, tolong Mak Ijah ya Allah, mudahkan segala urusannya, cukupkanlah segala kebutuhannya, aku hanya ingin melihat Mak Ijah tersenyum bahagia” .

Aku yakin, mak ijah adalah satu contoh potret pemiskinan dan perjuangan rakyat kecil dalam mempertahankan hidupnya di republik ini. Masih banyak ratusan bahkan ribuan mak Ijah - mak Ijah yang lainnya. Aku benci kemiskinan, tapi aku mencintai orang-orang miskin, kaum mustadh’afin. Kemiskinan yang membuat hak-hak manusia terabaikan. Bukankah setiap orang berhak untuk bahagia? Bukankah setiap orang berhak mendapatkan hidup yang layak? Bagiku, Mak Ijah belum mendapatkan hak-haknya tersebut.

Aku rindu pemimpin negeri seperti Umar bin Khattab, yang suka berkeliling melihat dan mengontrol secara langsung keadaan rakyatnya, membantu mereka yang kesusahan. Tapi pemimpin kita hari ini, hanya menjelang pemilu datang ke rakyat meminta dukungan, tapi setelah terpilih, rakyat ditinggalkan bahkan dilupakan.

Mak Ijah, maafkan aku yang tak banyak membantu, rangkaian doa ku sampaikan untukmu. Semoga engkau bahagia, dunia akhirat, amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar