Senin, 06 Desember 2010

KATA MUTIARA IMAM SYAFI'I

Di bawah ini, penulis mengutip beberapa kata mutiara (yang penuh hikmah) dari sang imam.

1. “Keridhaan manusia adalah samudera yang tak terjangkau. Tidak ada jalan keselamatan dari mereka. Maka, hendaklah engkau konsisten dengan apa-apa yang bermanfaat bagimu.”

2. “Ilmu adalah yang dimanfaatkan oleh orang banyak, bukan yang dihafal.”

3. “Barangsiapa yang tidak dimuliakan oleh ketakwaan, maka tidak ada kemuliaan baginya.”

4. Beliau pernah ditanya: ‘Kenapa engkau banyak sekali memegang tongkat, padahal engkau belum lemah?’ Beliau menjawab: “Agar aku ingat, bahwa aku ini seorang “musafir”.”

5. “Barangsiapa yang mengikuti hawa nafsu, maka dia akan menjadi budak anak-anak dunia ini.”

6. “Kebaikan itu dalam lima hal: kaya hati; menyingikirkan hal-hal yang bisa menyakiti (fisik dan perasaan) orang lain; mencari harta halal; takwa; dan yakin terhadap Allah.”

7. “Sebaik-baik investasi adalah takwa. Dan investasi yang paling berbahaya adalah “permusuhan”.”

8. “Menghindari kemaksiatan dan meninggalkan hal yang tidak bermanfaat bagimu akan menyinari hati.”

9. “Hendaklah engkau ber’khalwat’ (dzikir mengingat Allah, dosa-dosa, dalam kesendirian); sedikit makan; jauhi orang-orang dungu dan orang yang tidak bisa melihat dirimu secara adil.”

10. “Jika engkau tidak mampu mengekang lidahmu untuk berkata-kata yang tidak bermanfaat bagimu, kata-katamu akan mengekangmu, bukan engkau yang mengekangnya.”

11. “Orang berakal adalah: yang diikat oleh akalnya dari hal-hal tercela.”

12. “Marwah (harga diri) itu empat hal: akhlak yang mulia; dermawan; rendah hati (tawadhu’); dan banyak ibadah.”

13. “Tawadhu itu akhlak orang-orang mulia; sombong adalah sifat orang-orang tercela; tawadhu’ itu mewariskan kecintaan (mahabbah); dan qana’ah mewariskan rasa tenang.”

14. “Manusia yang paling tinggi derajatnya adalah yang tidak pernah mau tahu bagaimana derajatnya (di tengah-tengah manusia) dan manusia yang paling mulia adalah yang tidak pernah merasa punya kelebihan.”

15. “Manusia lalai dari ayat ini (إنّ الإنســـان لفي خـــسر): “Sungguh, manusia benar-benar berada dalam kerugian.” Oleh karenanya, beliau membagi malamnya menjadi tiga bagian: seperti pertama untuk untuk “menulis”; sepertiga kedua untuk “shalat” (ibadah); dan seperti terakhir untuk “tidur” (istirahat)

sumber: http://qosim.multiply.com/journal/item/263/263

Minggu, 26 September 2010

JALAN KEHANCURAN ITU BERNAMA PEMILUKADA

Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) sejatinya merupakan upaya untuk menciptakan demokratisasi yang berkeadilan, yang pada akhirnya adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Namun, sayangnya tujuan tersebut baru hanya sebatas mimpi, sebatas cita-cita dan harapan yang sampai hari ini belum juga mewujud, bahkan layak diibaratkan jauh api dari panggang.

Demokrasi yang hari ini kita pilih adalah demokrasi yang sangat mahal harganya. Betapa tidak, berapa banyak uang Negara yang dikuras untuk pelaksanaan Pemilukada. Bukan hanya itu, setiap calon Gubernur/Bupati/Walikota sudah barang tentu juga menyiapkan sejumlah dana untuk bisa menjadi pemenang. Membayar “mahar” kepada partai politik pendukung, yang pada akhirnya banyak terjadi politik transaksional dalam proses Pemilukada.

Sudah menjadi rahasia umum, praktek money politik seolah-olah merupakan sebuah keharusan yang mesti dipenuhi jika ingin dipilih oleh rakyat. Dan anehnya, itu dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa, suatu hal yang sangat wajar. Ditambah lagi mentalitas sebagian rakyat yang hanya ingin memilih jika diberikan sejumlah uang oleh para kandidat. Maju tak gentar membela yang bayar menjadi semboyan kebanyakan rakyat dalam pemilukada. Mereka yang tidak punya uang, jangan harap bisa terpilih atau maju sebagai calon Gubernur/Bupati/walikota.

Apakah demokrasi semacam ini yang kita inginkan? Demokrasi semu dan prosedural. Demokrasi yang miskin substansial. Demokrasi yang jauh dari cita-cita kemerdekaan. Lalu, pertanyaannya selanjutnya adalah apa yang dihasilkan dari Pemilukada? Apakah rakyat menjadi sejahtera? Apakah pengangguran berkurang? Apakah pembangunan infrastruktur di daerah meningkat?

Tentu jawaban yang kita harapkan dari pertanyaan di atas adalah iya. Namun realitas sosial berkata lain. Pemilukada yang pada awalnya diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang lebih merakyat, justru melahirkan raja-raja kecil, para penguasa yang hanya berpikir bagaimana modal politik mereka bisa kembali. Sehingga yang ditimbulkan adalah bukan pemerataan pembangunan yang terjadi, tetapi malah tindakan korupsi yang merata. Menyedihkan, mengkhawatirkan, bahkan mengecewakan.

Dampak Pemilukada

Selain memakan biaya yang sangat tinggi, pemilukada juga membawa dampak yang luar biasa mengkhawatirkan dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Sebab jika tidak, sama saja kita membiarkan bangsa ini berjalan menuju sebuah kehancuran.

Seringkali kita saksikan di media massa, bahwa pemilukada banyak melahirkan problem baru. Hampir di setiap pemilukada, selalu diiringi oleh berbagai konflik, kerusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya. Seolah-olah menjadi pandangan yang lazim ditemukan sebelum, saat, dan setelah pemilukada berlangsung. Mereka yang kalah dan merasa tidak puas dalam pemilukada kemudian menghancurkan fasilitas umum, membakar kantor KPU, merusak gedung kepala daerah, dan sebagainya. Ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala macam cara diamini dan diikuti.
Rasa-rasanya sebelum ada pemilihan kepala daerah secara langsung, hal tersebut belum pernah terjadi. Namun hari ini, tindakan tersebut seakan-akan sudah seperti tontonan sehari-hari selepas pemilukada.

65 tahun yang lalu, Bung Karno didampingi Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setelah ratusan tahun lamanya, bangsa ini hidup di bawah penjajahan bangsa asing. Sudah tak terhitung lagi, berapa banyak darah yang mengalir, air mata yang menetes, dan nyawa yang hilang demi meraih kemerdekaan Indonesia.

Namun sayangnya, kemerdekaan yang sudah diraih oleh para pendahulu kita belum sepenuhnya kita syukuri. Maka, ada baiknya para aparat penyelenggara Negara, baik di tingkat eksekutif, legistalif, maupun yudikatif bersama-sama mengkaji kembali pelaksanaan pemilukada secara langsung yang banyak menghabiskan anggaran negara dan memakan korban. Jangan sampai, kemerdekaan yang sudah direbut dengan darah dan air mata dan nyawa menjadi sia-sia.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 65, bagaimanapun dirimu saat ini, kau tetaplah Indonesiaku.

Sabtu, 29 Mei 2010

TERORISME NEGARA

Aku tak mengerti,
kenapa pemerintah begitu tega
menaikkan harga-harga
ditengah kesulitan warga

Bagiku ini adalah terorisme
dalam wajah yang berbeda
Terorisme Negara kepada rakyatnnya

Aku tak mengerti,
Kenapa pemerintah begitu mudah
tanpa berdosa, menyulitkan rakyat yang sudah sulit?
Menambah penderitaan rakyat yang sudah sangat menderita

Butakah mata mereka?
jutaan masyarakat Indonesia belum merdeka
Tulikah telinga mereka?
Rakyat menjerit karena hidup semakin terhimpit

Aku bertanya,
Di mana hati nurani mereka?
hati nurani telah pergi dari negeri ini?
Hati nurani para pemimpin telah mati

Rakyat dibuat ketakutan
Mereka tak tahu kemana mencari makan
Rakyat dalam bahaya
Mereka terancam tak berdaya
Kemiskinan, pengangguran, penggusuran, dan kebodohan

Orang miskin dilarang sakit
Karena biaya pengobatan menjunjung tinggi selangit
Orang miskin dipaksa tak sekolah
Karena spp mahal tak terjamah

Indonesia kembali berduka,
Rakyat kembali dibuat sengsara…
Sungguh, aku tak mengerti
kenapa Negara menteror warganya sendiri??
Teror dalam wajah yang berbeda

Senin, 10 Mei 2010

PEMILU, UNTUK APA DAN UNTUK SIAPA?

Pemilihan umum (PEMILU) merupakan salah satu ciri dari negara yang menganut faham demokrasi. Di Indonesia, PEMILU diadakan setiap 5 tahun sekali. 8 Juli mendatang bangsa Indonesia akan menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden periode 2009-2014. Ada pertanyaan yang mengganggu dalam benak pikiran saya selama ini, "untuk siapa pemilu itu?".

Akhir-akhir ini pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik, selalu dihiasi oleh berita-berita seputar "kasak-kusuk" capres dan cawapres dalam mengahadapi pemilihan presiden 8 Juli mendatang. Mulai dari koalisi parpol, sampai deklarasi pasangan capres dan cawapres. Ada yang mendeklarasikannya di tempat bersejarah, di gedung mewah, sampai di tempat pembuangan sampah. Anggarannya pun berbeda-beda, ada yang hanya menghabiskan 20 juta, 500 juta, bahkan ada juga mencapai lebih dari 1 miliar. Uang itu dihamburkan ditengah kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Andai saja dana sebesar itu, dialokasikan untuk membantu rakyat miskin, tentunya akan jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya untuk mengadakan acara deklarasi.

Entah apa yang ada dalam pikiran elit politik kita? Semua ingin berkuasa, semua ingin menjadi presiden. Semua bicara soal perubahan, semua bicara soal kesejahteraan rakyat. Bukankah tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang presiden itu teramat berat?? Tapi mengapa banyak orang yang ingin memperebutkannya?

PEMILU kali ini menghabiskan dana yang jumlahnya tidak sedikit, diperkirakan mencapai 22,3 Triliun sebagaimana yang dianggarkan oleh KPU. Jumlah yang sangat besar, begitu mahal jalan demokrasi yang kita pilih. Namun. apa yang dihasilkan dari PEMILU?? Apakah rakyat kian sejahtera?

Sudah lama rakyat indonesia merindukan perubahan, bertahun-tahun rakyat memimpikan kesejahteraan siang dan malam. Namun mimpi itu belum kian mewujud. Setiap kali pemilu, angin surga tentang perubahan selalu dihembuskan oleh para elit politik. Janji manis selalu terucap. Seperti kata Roma Irama dalam syair lagunya "surga yang engkau janjikan, neraka yang ku dapatkan, manisnya janjimu padaku, mengalahkan manisnya madu."

Namun, setelah pemilu selesai dan mereka telah terpilih rakyat kembali dilupakan. Dan ini rutin terjadi setiap lima tahun sekali. Mereka baru mendekati rakyat, hanya ketika menjelang pemilu. Kemana saja mereka selama ini? Kasihan rakyat, selalu menjadi korban. Maka, untuk APA dan untuk siapa sebenarnya PEMILU?

Semoga kali ini, pemilu benar2 untuk perubahan, untuk kepentingan rakyat, dan untuk kesejahteraan rakyat. Semoga,,,, (ditulis pada saat menjelang pemilu 2009 yang lalu)

BERSYUKUR

Ada banyak hal yang harus kita syukuri dalam hidup ini. Seringkali kita tidak bersyukur atas apa yang kita miliki, sering pula kita mengeluh bila terjadi sebuah masalah dalam kehidupan kita. Kita sering merasa bahwa kita adalah orang yang paling terhimpit, orang yang paling stress, pusing, susah, dan lain sebagainya. Tapi jika kita melihat orang-orang di sekitar kita, ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah dibanding kita. Berapa banyak orang yang masalahnya jauh lebih berat dibandingkan dengan masalah yang kita hadapi. Tapi, kenapa kita sering mengeluh, kita sering kali alpa untuk bersyukur?

Suatu sore, beberapa waktu yang lalu di stasiun kereta api Kebayoran Lama. Ku lihat seorang nenek tua duduk di pinggir rel, sambil berjualan kerupuk, kacang rebus, dodol, dan sebagainya. Wajahnya penuh dengan kerutan, matanya terasa sayup, giginya pun sudah banyak yang ompong. Hatiku menangis bagai teriris. Dalam hati ku berkata "Oh Tuhan, nenek setua itu masih saja harus berjuang keras untuk menyambung hidupnya".

Masih kita tidak bersyukur? Masihkah kita akan mengeluh? Maka pantas, rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalu melihat orang yang lebih dibawah dari kita, dan melarang kita melihat orang yang lebih tinggi dalam segi harta, tidak lain dan tidak bukan adalah supaya kita bersyukur atas apa yang kita miliki. Tuhan, jadikan aku hamba-Mu yang pandai bersyukur.

KUMPULAN KATA-KATA INSPIRASI PAULO COELHO DALAM NOVEL: THE WITCH OF PORTOBELLO

• Aku bertepuk tangan ketika akal sehat kalah dalam peperangan, dan yang bisa ku lakukan hanya menyerah dan menerima bahwa aku telah jatuh cinta.

• Bahwa semua yang tak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan tak punya hak untuk eksis.

• Jika ada kemungkinan menemukan penghiburan dari tragedi kehilangan seseorang yang amat kita cintai, itu adalah harapan yang perlu ada, bahwa barangkali semua yang terjadi adalah yang terbaik.

• Berapa banyak dari kita dapat terhindar dari derita melihat hal terpenting dalam hidup kita menghilang dari satu momen ke momen berikutnya?

• Tubuh kita tetap hidup, tapi, cepat atau lambat, jiwa kita akan menerima ledakan kefanaan.

• Yang masuk akal hanyalah yang sanggup kita lihat, sentuh, dan jelaskan.

• Di malam hari, ada sebagian lagi diriku yang akan tertinggal gentayangan di angkasa.

• Orang yang sedang menempuh pengembaraan spiritual tidak berpikir, mereka hanya menginginkan hasil.

• Kita memohon sang Ibu mengirimkan penuntun, dan yang Dia kirimkan hanyalah tanda-tanda pada jalan yang harus kita tempuh.

• Waktu kita di bumi ini sakral adanya, dan kita seharusnya merayakan setiap detiknya.

• Tak pernah ada hak yang absolut; mereka bersandar pada persepsi tiap-tiap individu. Dan cara terbaik untuk mengetahui siapa kita kadang adalah dengan dengan mencari tahu bagaimana orang lain memandang kita.

• Hidup, bagaimanapun, punya rencana lain- saat takdir telah begitu berbaik hati pada kita, selalu saja ada sebuah sumur ke mana semua impian bisa terjatuh.

• Budaya bukanlah sesuatu yang diwariskan melalui gen.

• Tuhan telah memberiku alasan untuk hidup, bekerja, dan berjuang di lembah air mata ini.

• Satu-satunya impian wanita adalah menikah dan mempunyai anak.

• Percik keilahian itu ada dalam setiap jiwa dan tidak pernah bisa dipadamkan.

• Agar bisa bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan
begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik, pemahat, dan penulis hebat.

• Yang diperlukan agar dunia tetap selaras hanyalah bila semua makhluk mengikuti hukum alam.

• Baik cinta manusia maupun ilahi, berarti merelakan segala sesuatu, termasuk kesenangan kita sendiri atau kemampuan kita mengambil keputusan.

• Betapa kebesaran Tuhan menyatakan diri melalui hal-hal sederhana.

• Saya adalah wadah di mana Energi Ilahi bisa memanifestasikan diri.

• Romantisme masa muda menuntut kita untuk selalu mengambil sikap radikal.

• Musik adalah ideologi. Kau dapat menilai seseorang dari jenis musik yang mereka dengar.

• Karena perpisahan telah membuatku menyadari tak ada apa pun dan tak seorang pun yang lebih penting di dunia ini melebihi istri dan anakku.

• Dan waktu adalah satu-satunya obat.

• Bahwa dalam satu masa kehidupan, kita mungkin mencintai lebih dari satu orang.

• Kau tak bisa mengukur cinta seperti mengukur panjang jalan atau tinggi gedung.

• Karena sepanjang hidupku aku telah belajar menderita dalam diam.

• Menghancurkan pertalian keluarga mungkin adalah dosa paling besar yang bisa dilakukan seseorang. (To be continued)

Sabtu, 17 April 2010

MENYEGARKAN KEMBALI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Ibarat bunga, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hari ini dalam keadaan yang layu. Tak segar, tak sedap dipandang mata. Tak lagi mampu mengharumkan sejarah perjalanan bangsa. Ibarat manusia, usia HMI dapat dikatakan sudah memasuki usia seorang kakek tua yang sudah mulai renta dan tertatih-tatih dalam berjalan. Namun, usia HMI tidak bisa disamakan dengan usia manusia. Jika kita melihatnya dari perspektif sebuah usia peradaban, maka usia 63 tahun merupakan usia yang masih sangat muda.

Apa sebetulnya yang menjadi sebab layunya organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di republik ini? Sebuah pertanyaan yang layak dihadirkan bagi para kader HMI agar mampu merefleksikan diri, untuk dapat mengambil pelajaran darinya.

Menurut penulis, banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, antara lain konflik internal organisasi baik dari tingkatan komisariat sampai pada tingkatan PB HMI, pragmatisme kader-kader HMI dalam melakukan gerakan, terlena dengan sejarah masa lalu atau meminjam istilah dr. Ulla Nuchrawati HMI terjangkit syndrome romantic, terjebak pada romantisme sejarah masa lampau, dan masih banyak yang lainnya.

Banyak sudah kritikan yang bermunculan, ia datang silih berganti, baik dari kalangan internal maupun eksternal. HMI dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, elitis, dan tidak merakyat. Tidak hanya itu, tradisi intelektualitas dalam HMI yang selama ini menjadi icon, kini perlahan kian memudar. Bahkan sering juga dikatakan bahwa hari ini HMI juga mengalami kekeringan spriritual, dan dekadensi moral.

Ketika HMI berulang tahun ke 50, yang oleh banyak orang dianggap sebagai ulang tahun emas HMI pada tahun 1997. Namun almarhum Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur (mantan Ketua Umum PB HMI) menyebut ulang tahun emas HMI sebagai ulang tahun ‘besi karatan”.

Kritikan yang ditujukan kepada HMI sudah semestinya kita jawab dengan tindakan yang nyata. Menurut Anas Urbaningrum dalam tulisannya yang berjudul “Meneguhkan pola Pikir HMI: Ikhtiar Mewujudkan Indonesia yang Bermartabat”, dalam buku “Menemukan HMI Kembali” menyebutkan bahwa salah satu cirri yang melekat pada diri intelektual adalah bersedia dan tahan menerima kritik. Semua kritik harus dipahami dalam dua aspek. Pertama, kritik menandakan adanya harapan atau minimal care dari sang pengkritik terhadap yang dikritik. Kedua, kritik adalah social capital yang dapat memicu koreksi internal dalam rangka perbaikan, karena pada dasarnya tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Kritik ibarat sebuah cermin bagi kita, dengan adanya cermin kita bisa tahu bahwa ternyata baju kita tidak rapih, rambut kita tidak teratur, ataupun wajah kita yang kotor karena debu-debu yang menempel. Singkatnya, kritikan tersebut hadir agar kita dapat melakukan evaluasi dari kekurangan yang ada.

Ditengah kondisi bangsa yang masih jauh dari kesejahteraan, dan keterbelakangan maka mission HMI mesti dan harus terus diperjuangkan. HMI bukan hanya peduli, tapi juga ikut bertanggung jawab atas kondisi bangsa yang hari ini terjadi.

Maka penulis memiliki asumsi, tidak berlebihan jika mengatakan bahwa apabila ingin memperbaiki nasib dan kondisi bangsa, yang harus dilakukan pertama kali adalah perbaiki dulu HMI-nya. Betapa tidak, begitu banyak alumni HMI yang saat ini berkiprah di berbagai macam bidang di negeri ini dan mereka berada di posisi-posisi yang strategis. Baik itu di bidang politik, sebagai anggota DPR, ataupun menteri, kemudian di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan, dan sebagainya. Itu semua, tidak terlepas dari kiprah dan peran alumni HMI.

Namun, benar memang apa yang disampaikan oleh pendiri (founding father) HMI Ayahanda Prof. Lafran Pane bahwa HMI kita banggakan bukan karena melahirkan para pejabat dan konglomerat, tetapi karena lahirnya generasi-generasi yang cerdas dan punya integritas.

Panglima Besar Jendral Soedirman pernah HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Bagi saya, ungkapan tersebut merupakan pujian sekaligus amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Maka agar “bunga” ini tidak mati selamanya, perlu ada upaya yang serius dan sistematis untuk menyegarkannya kembali. Supaya ia dapat terus semerbak mewangi sepanjang hari, sejuk dipandang mata. Sesepuh HMI almarhum Dahlan Ranuwiharjo (mantan Dekan Fakultas Hukum UNAS) mengingatkan HMI untuk tidak menjadi the old young man atau orang muda yang tua. Namun, HMI adalah the young old man atau orang tua yang muda. Tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi.

Upaya penyegaran HMI itu antara lain, pertama; melakukan siraman-siraman intelektual bagi kader HMI. Siraman intelektual disini dalam arti, menghidupkan kembali kajian-kajian dan diskusi-diskusi agar tradisi intelektualitas dapat terjaga. Tanpa itu, ber-HMI hanya akan menghabiskan waktu saja.

Kedua, memupuk bunga ini dengan pupuk spiritual. Dalam syair lagu Hymne HMI, dikatakan bahwa “Berdoa dan ikrar menjunjung tinggi syiar Islam, turut Qur’an dan hadist jalan keselamatan”. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mungkin kita mau turut qur’an dan hadist, kalau selama ini kita sebagai kader HMI tidak pernah belajar Al-Quran, tidak juga mengkaji hadist, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Mengaku kader HMI, tapi tidak sholat, berapi-api saat berdiskusi tapi tidak bisa mengaji. Bersemangat ketika demonstasi tapi letoy tatkala agama Islam dikaji.

Ketiga, bunga ini harus kita segarkan kembali dengan cara merawatnya melalui komitmen dan konsistensi kita dalam perjuangan membela kaum mustadh’afin (kaum-kaum yang tertindas dan terampas hak-haknya).

Keempat, menjaga kritisisme dan independensi organisasi. HMI sebagai organisasi perjuangan harus tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menindas rakyat kecil dan yang merampas hak kaum yang lemah. Ketika HMI kehilangan daya kritisime, maka ucapkan selamat tinggal pada organisasi ini. Sejarah telah mencatat bahwa HMI ikut memberikan kontribusi terhadap setiap perubahan yang terjadi di republik ini.

Maka menjadi tanggung jawab kita bersama baik sebagai kader maupun pengurus HMI untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak hanya mengasah intelektual tapi juga nilai-nilai spiritual. Kualitas 5 (Lima) insan cita HMI; insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafaskan Islam, dan Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt, harus mendarah daging dan berakar dalam setiap diri kader HMI. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, maka jangan pernah berhenti berjuang. Jangan pernah berhenti untuk menorehkan makna dalam hidup ini.

Izinkan saya tutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata Anas Urbaningrum, “diatas segalanya, ber-HMI akan sangat bermakna jika menghasilkan panggilan hidup yang akan menjadi motivasi bagi kerja-kerja kemanusiaan (amal shalih) sepanjang hayat. Ber-HMI akan kehilangan makna jika menghasilkan kader yang berpedoman pada “hidup dari”: kiprahnya kelak di masyarakat. Hidup untuk, selalu lebih bermakna ketimbang hidup dari. Itulah amal shalih untuk kemajuan bangsa dan kejayaan umat.” Yakin, Usaha, Sampai, untuk kemajuan. BRAVO HMI!

Jumat, 08 Januari 2010

DEBU-DEBU MAKSIAT

Sisi-sisi kehidupanku menjadi pagar pembetis
Antara hidup dan mati
Antara jasad raga dan jiwa suci
Tapi, mengapa hatiku tak mampu tuk menangis?

Perjalanan dengan kaki patahku
Mambuat lama sampai ke tempat tujuan
Bagaimana aku harus merengkuh semua itu?
Sementara debu-debu maksiat,
Sudah lama menghalangi pandangan-Mu

Ya Allah, harap sungguh hamba bersimpuh
Agar debu-debu maksiat itu tidak bersamaku
Namun hamba sadar, ya Tuhan….
Hidup adalah simbok tua
Yang selalu menggendong buntalan permasalahan

Ku ingin berlari menghindari
Tapi hati ini mencaci
Ku coba tuk mendaki,
tapi lagi-lagi kaki tak sunggup meniti

Duh ilahi……………
Bantulah hambu-Mu ini
Datangkan kekuatan Musa
Untuk menghalau debu maksiat
Hadirkan kekuatan Qur’an
Untuk mengusir kahayal dan angan

Ku berharap pada-Mu ya Rabbi
Hadirkan cermin hati
Agar hamba dapat menghapus debu-debu maksiat
Di wajah ini………

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN PESANTREN

Seringkali masyarakat meremehkan pendidikan pesantren. Ada stigma atau pandangan negatif yang melekat dalam benak masyarakat bahwa pesantren adalah tempat “pembuangan” anak-anak nakal untuk kemudian diperbaiki sehingga bisa menjadi baik kembali. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah, anggapan bahwa pesantren merupakan tempat belajar para teroris.

Di Pesantren, kita belajar tentang perbedaan. Ya, sebab yang menuntut ilmu di pesantren bukan hanya berasal dari satu daerah saja, tapi juga berasal dari seluruh penjuru republik ini dari sabang hingga mereuke, bahkan ada juga yang berasal dari luar negeri. Mereka hidup bersama secara harmonis di asrama, saling berinteraksi satu sama lain meskipun berasal dari kultur yang berbeda. Sehingga kita terbiasa hidup dalam perbedaan, sebagaimana negeri ini yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan agama. Islam pun mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat yang harus kita sikapi dengan bijak. Bukankah perbedaan warna yang membuat pelangi itu menjadi indah?

Pesantren telah melahirkan banyak pemimpin di negeri ini, sebut saja (alm) KH. Abdurrahman Wahid atau biasa yang akrab dengan panggilan Gus Dur. Presiden Indonesia yang ke 4 ini merupakan “jebolan” pondok pesantren. Beliau merupakan putra terbaik bangsa yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Selain beliau, ada juga nama seperti Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR-RI periode 2004-2009, pun merupakan alumni dari pondok pesantren. Tidak hanya di dunia politik, dalam bidang akademisi pun, pesantren banyak melahirkan tokoh-tokoh, antara lain; (alm) Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang mendirikan Universitas Paramadina Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Ramly Hutabarat, Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, M. Yudhi Haryono, Ph.D, Direktur Nusantara Center, penulis muda yang produktif, dan masih banyak nama lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan karena keterbatasan pengetahuan penulis.

Selain itu, pesantren juga banyak melahirkan ummat, KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB NU) yang seringkali disebut-sebut sebagai organisasi massa terbesar di republik ini, nama lain yang tak kalah populernya adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah, dan lain sebagainya.

Selain mengkaji ilmu-ilmu agama dari berbagai kitab, para santri juga mendapatkan pelajaran umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah umum; Biologi, Matematika, Fisika, Kimia, IPS, PKn, Komputer, Bahasa Indonesia dan sebagainya. Bahkan di pesantren tempat ku menimba ilmu, kini juga telah dilengkapi dengan fasilitas wi-fi atau hot spot sehingga para santri bisa mengakses internet.

Selain itu, kelebihan lain yang juga dimiliki oleh pesantren adalah para santri diajarkan dan diharuskan menguasai dua bahasa internasional secara intensif, yaitu, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Bahasa Arab dan Inggris merupakan dua bahasa sehari-hari yang digunakan untuk berkomunikasi baik di kelas maupun di luar kelas (asrama). Jika ada santri yang ketahuan berbicara dengan bahasa selain Arab dan Inggris, maka akan mendapatkan hukuman. Kita bisa karena terpaksa, sebuah ungkapan yang tak lazim ku dengar, tapi begitulah guruku menasehatiku.

Kenapa Pesantren Banyak Melahirkan Pemimpin?
Pesantren membekali setiap santrinya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu kepemimpinan (leadership). Siap Memimpin dan siap dipimpin, kalimat tersebut saya dapatkan di pesantren. Ya, di pesantren para santri belajar untuk memimpin dan belajar juga untuk dipimpin. Ada banyak program dan kegiatan yang tujuannya adalah untuk mengasah para santri untuk belajar menjadi seorang pemimpin. Ada ketua kamar, ketua rayon, ketua kelas, ketua angkatan, ketua organisasi santri, ketua koordinator pramuka, dan ketua dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Dari situlah, para santri belajar bertanggung jawab atas amanah yang diembannya, sebab akan ada Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) di setiap akhir masa baktinya.

Di pesantren para santri juga belajar hidup disiplin. Guruku pernah mengatakan “Hidup dengan disiplin itu memang tidak enak, akan tetapi jauh lebih tidak enak jika kita hidup tanpa disiplin”. Dari bangun tidur sampai tertidur kembali para santri harus mengikuti aturan yang sudah dibuat dengan penuh disiplin dan tanggung jawab. Sebab jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus didapatkan, yaitu hukuman.

Setiap santri juga belajar untuk hidup mandiri, sebab di pesantren kita tidak hidup bersama-sama dengan kedua orang tua kita. Ya, kita hidup jauh dari orang tua. Oleh karena itu, para santri dididik untuk bisa hidup mandiri, mulai dari mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, pendek kata mengurus hidup sendiri.

Pesantren ibarat sebuah sumur yang tak pernah kering, tempat kita menimba ilmu kehidupan. Pesantren juga yang membina kita untuk menjadi seorang pemimpin. Sebab pada dasarnya setiap kita adalah pemimpin, kullukum ro’in wa kullukum mas’ulun an ro’iyyatihi”

Maka wajarlah kalau kemudian banyak alumni-alumni pondok pesantren yang hari ini mendapatkan amanah dari ummat untuk melayani dan memberikan yang terbaik untuk kemajuan bangsa, negara, dan agama.

Jadi, jangan ragu untuk menyekolahkan adik, keponakan, sepupu, ataupun saudara kita di pesantren. Karena pesantren terbukti berhasil melahirkan banyak pemimpin di republik ini. Sebelum aku akhiri, izinkan aku dendangkan satu bait lagu Hymne oh pondokku; "oh, pondokku engkau berjasa, pada ibuku Indonesia..". Wallahu a’lam..