Minggu, 26 September 2010

JALAN KEHANCURAN ITU BERNAMA PEMILUKADA

Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) sejatinya merupakan upaya untuk menciptakan demokratisasi yang berkeadilan, yang pada akhirnya adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Namun, sayangnya tujuan tersebut baru hanya sebatas mimpi, sebatas cita-cita dan harapan yang sampai hari ini belum juga mewujud, bahkan layak diibaratkan jauh api dari panggang.

Demokrasi yang hari ini kita pilih adalah demokrasi yang sangat mahal harganya. Betapa tidak, berapa banyak uang Negara yang dikuras untuk pelaksanaan Pemilukada. Bukan hanya itu, setiap calon Gubernur/Bupati/Walikota sudah barang tentu juga menyiapkan sejumlah dana untuk bisa menjadi pemenang. Membayar “mahar” kepada partai politik pendukung, yang pada akhirnya banyak terjadi politik transaksional dalam proses Pemilukada.

Sudah menjadi rahasia umum, praktek money politik seolah-olah merupakan sebuah keharusan yang mesti dipenuhi jika ingin dipilih oleh rakyat. Dan anehnya, itu dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa, suatu hal yang sangat wajar. Ditambah lagi mentalitas sebagian rakyat yang hanya ingin memilih jika diberikan sejumlah uang oleh para kandidat. Maju tak gentar membela yang bayar menjadi semboyan kebanyakan rakyat dalam pemilukada. Mereka yang tidak punya uang, jangan harap bisa terpilih atau maju sebagai calon Gubernur/Bupati/walikota.

Apakah demokrasi semacam ini yang kita inginkan? Demokrasi semu dan prosedural. Demokrasi yang miskin substansial. Demokrasi yang jauh dari cita-cita kemerdekaan. Lalu, pertanyaannya selanjutnya adalah apa yang dihasilkan dari Pemilukada? Apakah rakyat menjadi sejahtera? Apakah pengangguran berkurang? Apakah pembangunan infrastruktur di daerah meningkat?

Tentu jawaban yang kita harapkan dari pertanyaan di atas adalah iya. Namun realitas sosial berkata lain. Pemilukada yang pada awalnya diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang lebih merakyat, justru melahirkan raja-raja kecil, para penguasa yang hanya berpikir bagaimana modal politik mereka bisa kembali. Sehingga yang ditimbulkan adalah bukan pemerataan pembangunan yang terjadi, tetapi malah tindakan korupsi yang merata. Menyedihkan, mengkhawatirkan, bahkan mengecewakan.

Dampak Pemilukada

Selain memakan biaya yang sangat tinggi, pemilukada juga membawa dampak yang luar biasa mengkhawatirkan dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Sebab jika tidak, sama saja kita membiarkan bangsa ini berjalan menuju sebuah kehancuran.

Seringkali kita saksikan di media massa, bahwa pemilukada banyak melahirkan problem baru. Hampir di setiap pemilukada, selalu diiringi oleh berbagai konflik, kerusuhan, perpecahan, dan lain sebagainya. Seolah-olah menjadi pandangan yang lazim ditemukan sebelum, saat, dan setelah pemilukada berlangsung. Mereka yang kalah dan merasa tidak puas dalam pemilukada kemudian menghancurkan fasilitas umum, membakar kantor KPU, merusak gedung kepala daerah, dan sebagainya. Ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala macam cara diamini dan diikuti.
Rasa-rasanya sebelum ada pemilihan kepala daerah secara langsung, hal tersebut belum pernah terjadi. Namun hari ini, tindakan tersebut seakan-akan sudah seperti tontonan sehari-hari selepas pemilukada.

65 tahun yang lalu, Bung Karno didampingi Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Setelah ratusan tahun lamanya, bangsa ini hidup di bawah penjajahan bangsa asing. Sudah tak terhitung lagi, berapa banyak darah yang mengalir, air mata yang menetes, dan nyawa yang hilang demi meraih kemerdekaan Indonesia.

Namun sayangnya, kemerdekaan yang sudah diraih oleh para pendahulu kita belum sepenuhnya kita syukuri. Maka, ada baiknya para aparat penyelenggara Negara, baik di tingkat eksekutif, legistalif, maupun yudikatif bersama-sama mengkaji kembali pelaksanaan pemilukada secara langsung yang banyak menghabiskan anggaran negara dan memakan korban. Jangan sampai, kemerdekaan yang sudah direbut dengan darah dan air mata dan nyawa menjadi sia-sia.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 65, bagaimanapun dirimu saat ini, kau tetaplah Indonesiaku.