Sabtu, 17 April 2010

MENYEGARKAN KEMBALI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Ibarat bunga, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hari ini dalam keadaan yang layu. Tak segar, tak sedap dipandang mata. Tak lagi mampu mengharumkan sejarah perjalanan bangsa. Ibarat manusia, usia HMI dapat dikatakan sudah memasuki usia seorang kakek tua yang sudah mulai renta dan tertatih-tatih dalam berjalan. Namun, usia HMI tidak bisa disamakan dengan usia manusia. Jika kita melihatnya dari perspektif sebuah usia peradaban, maka usia 63 tahun merupakan usia yang masih sangat muda.

Apa sebetulnya yang menjadi sebab layunya organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di republik ini? Sebuah pertanyaan yang layak dihadirkan bagi para kader HMI agar mampu merefleksikan diri, untuk dapat mengambil pelajaran darinya.

Menurut penulis, banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, antara lain konflik internal organisasi baik dari tingkatan komisariat sampai pada tingkatan PB HMI, pragmatisme kader-kader HMI dalam melakukan gerakan, terlena dengan sejarah masa lalu atau meminjam istilah dr. Ulla Nuchrawati HMI terjangkit syndrome romantic, terjebak pada romantisme sejarah masa lampau, dan masih banyak yang lainnya.

Banyak sudah kritikan yang bermunculan, ia datang silih berganti, baik dari kalangan internal maupun eksternal. HMI dianggap terlalu dekat dengan kekuasaan, elitis, dan tidak merakyat. Tidak hanya itu, tradisi intelektualitas dalam HMI yang selama ini menjadi icon, kini perlahan kian memudar. Bahkan sering juga dikatakan bahwa hari ini HMI juga mengalami kekeringan spriritual, dan dekadensi moral.

Ketika HMI berulang tahun ke 50, yang oleh banyak orang dianggap sebagai ulang tahun emas HMI pada tahun 1997. Namun almarhum Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur (mantan Ketua Umum PB HMI) menyebut ulang tahun emas HMI sebagai ulang tahun ‘besi karatan”.

Kritikan yang ditujukan kepada HMI sudah semestinya kita jawab dengan tindakan yang nyata. Menurut Anas Urbaningrum dalam tulisannya yang berjudul “Meneguhkan pola Pikir HMI: Ikhtiar Mewujudkan Indonesia yang Bermartabat”, dalam buku “Menemukan HMI Kembali” menyebutkan bahwa salah satu cirri yang melekat pada diri intelektual adalah bersedia dan tahan menerima kritik. Semua kritik harus dipahami dalam dua aspek. Pertama, kritik menandakan adanya harapan atau minimal care dari sang pengkritik terhadap yang dikritik. Kedua, kritik adalah social capital yang dapat memicu koreksi internal dalam rangka perbaikan, karena pada dasarnya tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Kritik ibarat sebuah cermin bagi kita, dengan adanya cermin kita bisa tahu bahwa ternyata baju kita tidak rapih, rambut kita tidak teratur, ataupun wajah kita yang kotor karena debu-debu yang menempel. Singkatnya, kritikan tersebut hadir agar kita dapat melakukan evaluasi dari kekurangan yang ada.

Ditengah kondisi bangsa yang masih jauh dari kesejahteraan, dan keterbelakangan maka mission HMI mesti dan harus terus diperjuangkan. HMI bukan hanya peduli, tapi juga ikut bertanggung jawab atas kondisi bangsa yang hari ini terjadi.

Maka penulis memiliki asumsi, tidak berlebihan jika mengatakan bahwa apabila ingin memperbaiki nasib dan kondisi bangsa, yang harus dilakukan pertama kali adalah perbaiki dulu HMI-nya. Betapa tidak, begitu banyak alumni HMI yang saat ini berkiprah di berbagai macam bidang di negeri ini dan mereka berada di posisi-posisi yang strategis. Baik itu di bidang politik, sebagai anggota DPR, ataupun menteri, kemudian di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan, dan sebagainya. Itu semua, tidak terlepas dari kiprah dan peran alumni HMI.

Namun, benar memang apa yang disampaikan oleh pendiri (founding father) HMI Ayahanda Prof. Lafran Pane bahwa HMI kita banggakan bukan karena melahirkan para pejabat dan konglomerat, tetapi karena lahirnya generasi-generasi yang cerdas dan punya integritas.

Panglima Besar Jendral Soedirman pernah HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Bagi saya, ungkapan tersebut merupakan pujian sekaligus amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Maka agar “bunga” ini tidak mati selamanya, perlu ada upaya yang serius dan sistematis untuk menyegarkannya kembali. Supaya ia dapat terus semerbak mewangi sepanjang hari, sejuk dipandang mata. Sesepuh HMI almarhum Dahlan Ranuwiharjo (mantan Dekan Fakultas Hukum UNAS) mengingatkan HMI untuk tidak menjadi the old young man atau orang muda yang tua. Namun, HMI adalah the young old man atau orang tua yang muda. Tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi.

Upaya penyegaran HMI itu antara lain, pertama; melakukan siraman-siraman intelektual bagi kader HMI. Siraman intelektual disini dalam arti, menghidupkan kembali kajian-kajian dan diskusi-diskusi agar tradisi intelektualitas dapat terjaga. Tanpa itu, ber-HMI hanya akan menghabiskan waktu saja.

Kedua, memupuk bunga ini dengan pupuk spiritual. Dalam syair lagu Hymne HMI, dikatakan bahwa “Berdoa dan ikrar menjunjung tinggi syiar Islam, turut Qur’an dan hadist jalan keselamatan”. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mungkin kita mau turut qur’an dan hadist, kalau selama ini kita sebagai kader HMI tidak pernah belajar Al-Quran, tidak juga mengkaji hadist, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Mengaku kader HMI, tapi tidak sholat, berapi-api saat berdiskusi tapi tidak bisa mengaji. Bersemangat ketika demonstasi tapi letoy tatkala agama Islam dikaji.

Ketiga, bunga ini harus kita segarkan kembali dengan cara merawatnya melalui komitmen dan konsistensi kita dalam perjuangan membela kaum mustadh’afin (kaum-kaum yang tertindas dan terampas hak-haknya).

Keempat, menjaga kritisisme dan independensi organisasi. HMI sebagai organisasi perjuangan harus tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menindas rakyat kecil dan yang merampas hak kaum yang lemah. Ketika HMI kehilangan daya kritisime, maka ucapkan selamat tinggal pada organisasi ini. Sejarah telah mencatat bahwa HMI ikut memberikan kontribusi terhadap setiap perubahan yang terjadi di republik ini.

Maka menjadi tanggung jawab kita bersama baik sebagai kader maupun pengurus HMI untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak hanya mengasah intelektual tapi juga nilai-nilai spiritual. Kualitas 5 (Lima) insan cita HMI; insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernafaskan Islam, dan Insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt, harus mendarah daging dan berakar dalam setiap diri kader HMI. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, maka jangan pernah berhenti berjuang. Jangan pernah berhenti untuk menorehkan makna dalam hidup ini.

Izinkan saya tutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata Anas Urbaningrum, “diatas segalanya, ber-HMI akan sangat bermakna jika menghasilkan panggilan hidup yang akan menjadi motivasi bagi kerja-kerja kemanusiaan (amal shalih) sepanjang hayat. Ber-HMI akan kehilangan makna jika menghasilkan kader yang berpedoman pada “hidup dari”: kiprahnya kelak di masyarakat. Hidup untuk, selalu lebih bermakna ketimbang hidup dari. Itulah amal shalih untuk kemajuan bangsa dan kejayaan umat.” Yakin, Usaha, Sampai, untuk kemajuan. BRAVO HMI!