Jumat, 08 Januari 2010

DEBU-DEBU MAKSIAT

Sisi-sisi kehidupanku menjadi pagar pembetis
Antara hidup dan mati
Antara jasad raga dan jiwa suci
Tapi, mengapa hatiku tak mampu tuk menangis?

Perjalanan dengan kaki patahku
Mambuat lama sampai ke tempat tujuan
Bagaimana aku harus merengkuh semua itu?
Sementara debu-debu maksiat,
Sudah lama menghalangi pandangan-Mu

Ya Allah, harap sungguh hamba bersimpuh
Agar debu-debu maksiat itu tidak bersamaku
Namun hamba sadar, ya Tuhan….
Hidup adalah simbok tua
Yang selalu menggendong buntalan permasalahan

Ku ingin berlari menghindari
Tapi hati ini mencaci
Ku coba tuk mendaki,
tapi lagi-lagi kaki tak sunggup meniti

Duh ilahi……………
Bantulah hambu-Mu ini
Datangkan kekuatan Musa
Untuk menghalau debu maksiat
Hadirkan kekuatan Qur’an
Untuk mengusir kahayal dan angan

Ku berharap pada-Mu ya Rabbi
Hadirkan cermin hati
Agar hamba dapat menghapus debu-debu maksiat
Di wajah ini………

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN PESANTREN

Seringkali masyarakat meremehkan pendidikan pesantren. Ada stigma atau pandangan negatif yang melekat dalam benak masyarakat bahwa pesantren adalah tempat “pembuangan” anak-anak nakal untuk kemudian diperbaiki sehingga bisa menjadi baik kembali. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah, anggapan bahwa pesantren merupakan tempat belajar para teroris.

Di Pesantren, kita belajar tentang perbedaan. Ya, sebab yang menuntut ilmu di pesantren bukan hanya berasal dari satu daerah saja, tapi juga berasal dari seluruh penjuru republik ini dari sabang hingga mereuke, bahkan ada juga yang berasal dari luar negeri. Mereka hidup bersama secara harmonis di asrama, saling berinteraksi satu sama lain meskipun berasal dari kultur yang berbeda. Sehingga kita terbiasa hidup dalam perbedaan, sebagaimana negeri ini yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan agama. Islam pun mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah rahmat yang harus kita sikapi dengan bijak. Bukankah perbedaan warna yang membuat pelangi itu menjadi indah?

Pesantren telah melahirkan banyak pemimpin di negeri ini, sebut saja (alm) KH. Abdurrahman Wahid atau biasa yang akrab dengan panggilan Gus Dur. Presiden Indonesia yang ke 4 ini merupakan “jebolan” pondok pesantren. Beliau merupakan putra terbaik bangsa yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Selain beliau, ada juga nama seperti Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR-RI periode 2004-2009, pun merupakan alumni dari pondok pesantren. Tidak hanya di dunia politik, dalam bidang akademisi pun, pesantren banyak melahirkan tokoh-tokoh, antara lain; (alm) Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang mendirikan Universitas Paramadina Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Ramly Hutabarat, Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, M. Yudhi Haryono, Ph.D, Direktur Nusantara Center, penulis muda yang produktif, dan masih banyak nama lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan karena keterbatasan pengetahuan penulis.

Selain itu, pesantren juga banyak melahirkan ummat, KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB NU) yang seringkali disebut-sebut sebagai organisasi massa terbesar di republik ini, nama lain yang tak kalah populernya adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah, dan lain sebagainya.

Selain mengkaji ilmu-ilmu agama dari berbagai kitab, para santri juga mendapatkan pelajaran umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah umum; Biologi, Matematika, Fisika, Kimia, IPS, PKn, Komputer, Bahasa Indonesia dan sebagainya. Bahkan di pesantren tempat ku menimba ilmu, kini juga telah dilengkapi dengan fasilitas wi-fi atau hot spot sehingga para santri bisa mengakses internet.

Selain itu, kelebihan lain yang juga dimiliki oleh pesantren adalah para santri diajarkan dan diharuskan menguasai dua bahasa internasional secara intensif, yaitu, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Bahasa Arab dan Inggris merupakan dua bahasa sehari-hari yang digunakan untuk berkomunikasi baik di kelas maupun di luar kelas (asrama). Jika ada santri yang ketahuan berbicara dengan bahasa selain Arab dan Inggris, maka akan mendapatkan hukuman. Kita bisa karena terpaksa, sebuah ungkapan yang tak lazim ku dengar, tapi begitulah guruku menasehatiku.

Kenapa Pesantren Banyak Melahirkan Pemimpin?
Pesantren membekali setiap santrinya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu kepemimpinan (leadership). Siap Memimpin dan siap dipimpin, kalimat tersebut saya dapatkan di pesantren. Ya, di pesantren para santri belajar untuk memimpin dan belajar juga untuk dipimpin. Ada banyak program dan kegiatan yang tujuannya adalah untuk mengasah para santri untuk belajar menjadi seorang pemimpin. Ada ketua kamar, ketua rayon, ketua kelas, ketua angkatan, ketua organisasi santri, ketua koordinator pramuka, dan ketua dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Dari situlah, para santri belajar bertanggung jawab atas amanah yang diembannya, sebab akan ada Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) di setiap akhir masa baktinya.

Di pesantren para santri juga belajar hidup disiplin. Guruku pernah mengatakan “Hidup dengan disiplin itu memang tidak enak, akan tetapi jauh lebih tidak enak jika kita hidup tanpa disiplin”. Dari bangun tidur sampai tertidur kembali para santri harus mengikuti aturan yang sudah dibuat dengan penuh disiplin dan tanggung jawab. Sebab jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus didapatkan, yaitu hukuman.

Setiap santri juga belajar untuk hidup mandiri, sebab di pesantren kita tidak hidup bersama-sama dengan kedua orang tua kita. Ya, kita hidup jauh dari orang tua. Oleh karena itu, para santri dididik untuk bisa hidup mandiri, mulai dari mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, pendek kata mengurus hidup sendiri.

Pesantren ibarat sebuah sumur yang tak pernah kering, tempat kita menimba ilmu kehidupan. Pesantren juga yang membina kita untuk menjadi seorang pemimpin. Sebab pada dasarnya setiap kita adalah pemimpin, kullukum ro’in wa kullukum mas’ulun an ro’iyyatihi”

Maka wajarlah kalau kemudian banyak alumni-alumni pondok pesantren yang hari ini mendapatkan amanah dari ummat untuk melayani dan memberikan yang terbaik untuk kemajuan bangsa, negara, dan agama.

Jadi, jangan ragu untuk menyekolahkan adik, keponakan, sepupu, ataupun saudara kita di pesantren. Karena pesantren terbukti berhasil melahirkan banyak pemimpin di republik ini. Sebelum aku akhiri, izinkan aku dendangkan satu bait lagu Hymne oh pondokku; "oh, pondokku engkau berjasa, pada ibuku Indonesia..". Wallahu a’lam..